Ciri khas kultur budaya Jawa adalah kuatnya sistem hirarki. Dalam soal bahasa misalnya banyak dijumpai mekanisme linguistik yang dikonstruk untuk stratifikasi sosial tertentu.Begitu juga denga tari. Tidak semua tari di Jawa mencerminkan egalitarianisme. Ada tari yang khusus untuk kalangan bangsawan dan kerajaan dan ada pula tari yang khsusus untuk rakyat kecil. Hal ini karena terdesign dari mainstream budaya Jawa yang terbagi ke dalam dua struktur mayor yaitu kebudayaan besar atau kebudayaan tinggi dan budaya kecil atau kebudayaan rendah. Masing-masing struktur budaya ini merefleksikan background sosio-kultural masing-masing. Budaya besar ini merepresentasikan masyarakat elit yang berada di kuil-kuil dan istana-istana, sementara budaya kecil hidup dan berkembang dalam kawuloalit yang berada di pinggiran dan pedesaan. Meminjam istilah Robert Reidfield bahwa kebudayaan besar merupakan pola kebudayaan dari peradaban kota, sementara kebudayaan kecil adalah pola kebudayaan rendah atau pedesaan.
Karena berangkat dari komunitas masyarakat yang berbeda, maka kedua kebudayaan Jawa di atas secara otomatis juga mempunyai ciri yang beda bahkan kontras. Termasuk tari, keduanya mempunyai keunikan-keunikan tersendiri. Untuk tari yang masuk dalam kamus masyarakat elit perkotaan dan istana lebih menonjolkan sifat-sifat nilai alus (halus, lembut), regu (pendiam), anteng (tenang) dan jatmika (selalu sopan). Jenis tari-tari yang masuk ke dalam kategori ini seperti tari bedhaya, srimpi dan beksan. Ini berbeda dengan tari-tari yang masuk dalam daftar kebudayaan pinggiran atau masyarakat desa. Tari-tari jenis ini dicirikan dengan sifatnya yang kasar, brangasan, energik, yang semua itu mencerminkan karakter atau watak masyarakat kecil.
Tari gambyong adalah tari yang muncul di ranah pinggiran masyarakat Jawa tetapi istimewanya ia mampu menembus wilayah sentral kerajaan Jawa. Ia merupakan produk kebudayaan wong cilik yang diangkat menjadi kebudayaannya para bangsawan Jawa. Sehingga tari Ganbyong, yang awal mulanya berstatus sebagai tradisi kecil, maka pada perkembangannya menjadi bagian tradisi besar.
Seluk beluk tari gambyong ini secara mendalam bisa kita telurusuri dalam bukunya Sri Rochana Widyastutieningrum (2004) yang berjudul Sejarah Tari Gambyong. Dalam buku itu Sri Rochana mengemukakan bahwa tari gambyong mulai digunakan dalam Serat Centhini yang ditulis pada abad XVVIII. Akan tetapi diperkirakan tari gambyong ini merupakan perkembangan tari tledhek atau tayub. Inilah yang menunjukkan bahwa tari Gambyong adalah tari yang lahir dari rahim masyarakat pinggiran. Karena tayub atau ledhek adalah cermin kebudayaan masyarakat bawah.
Tari tayub sendiri, dalam SeratSastramirada disebutkan telah dikenal sejak zaman kerajaan Jenggala (sekitar abad ke XII), sedangkan tari tledhek dikenal sejak zaman Demak (abad XV), yang disebut dengan tledhek mengamen, yang dipertunjukkan dengan iringan rebana dan kendang sastra di awali dengan vocal.
Istilah Gambyong diambil dari nama seorang penari tledhek. Penari yang bernama Gambyong ini hidup ini pada zaman susuhunan Paku Buwana IV di Surakarta (1788-1820). Lebih jauh menurut Sudibyo ZH, bahwa tentang adanya penari ledhek yang bernama Gambyong yang memiliki kemahiran dalam menari dan kemerduan dalam suara, sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu.
Masa perkembangan
Tari Gambyong mulai berkembang di era susuhunan paku Buwana IX (1861-1893) atas jasa K.R.M.T Wreksadiningrat. Tari tersebut diperkenalkan kepada umum dan ditarikan oleh seorang Waranggana (pesindhen). Karena sudah beralih ke struktur masyarakat bangsawan, maka tari ini mengalami modifikasi yang membedakan dengan bentuknya yang semula. Gerak-gerik tari ini yang awalnya begitu kasar mulai diperhalus. Hal ini terjadi, khususnya, ketika tari Gambyong muncul sebagai Tari gambyong pareano yang diciptakan oleh Ny Bei Montoraras pada tahun 1950. Sejak ini, tari gambyong mengalami perubahan yang drastis seperti susunan tari, iringan tari, rias dan busananya.
Selain bentuknya yang berubah fungsinya juga mulai berubah. Pada saat bertransformasi menjadi Pareanom ini, tari gambyong yang awalnya hanya difungsikan untuk hiburan atau tontonan, maka kemudian beralih fungsi menjadi tari untuk menyambut tamu-tamu besar. Tari Gambyong sering ditampilkan di Mangkunegaran pada zaman penjajahan Jepang, untuk menjamu para tentara Jepang yang datang di mangkunegaran.
Dalam perkembangan selanjutnya, tari gambyong ini juga mampu merangsang lahirnya bentukbentuk baru tari Gambyong yang lain, yang dikonstruksi oleh penyusun tari yang berbeda-beda. Seperti ada tari gambyong Pangkur yang disusun oleh Soemardjo Hardjoprasanto pada tahun 1962, kemudian tari gambyong Gambirsawit yang disusun oleh S.Ngaliman pada tahun 1970, tari gambyong, dan tari gambyong Pancerana pada tahun 1981.
Selain susunan gerak dan fungsinya, perkembangan tari gambyong juga terdapat pada intensifn kegiatan masyarakat yang menampilkan tari gambyong seperti pada acara perayaan, resepsi pernikahan, pembukaan, peresmian, penajmauan tamu dan pada kegiatan lomba dan festival. Perkembangan ini juga ditandai dengan membengkaknya jumlah penari, karena seringkali tari Gambyong ditampilkan secara massal.
Hal yang menyebabkan tari gambyong bisa berkembang pesat dan diminati oleh masyarakat luas di antaranya adalah bentuk estetis tari ini yang menarik. Ia mengandung unsur-insur ketrampilan, keluwesan, kekenesan dan kelincahan seorang wanita. Geraknya lincah dan cenderung erotis. Nilai estetis ini terdapat pada keharmonisan dan keselarasan antara gerak dan ritme, khususnya antara gerak dan irama kendang. Estetisme tari Gambyong akan muncul apabila penarinya menjiwai dan mampu mengekspresikan dengan sempurna, sehingga melahoirkan gerak tari yang sensual dan erotis. Untuk mencapai ungkapan itu, maka dibutuhkan para penari yang memenuhi satndar jogged Mataram dan Hasta Swanda. Dengan demikian diduga kuat, ungkapan erotis-sensual Tari Gambyong inilah yang menjadi daya tarik di masyarakat Jawa sehingga mudah berekembang. Selain itu juga dipengaruhi oleh sifat-sifatnya yang njawani, fleksibel dan kondisional.
Kalau ditilik lagi pada awal mula kelahirannya yang berasal dari tari tayub atau tari teledhek, sebenarnya hampir sama dengan tari ronggeng, lengger atau kethuk tilu, yang katanya untuk pembangkit birahi dan terkesan erotis (Edi Sedyawati:1984). Atau mungkin, kalau untuk sekarang, dengan membandingkan gerak energiknya dan kevulgaran sisi erotica dan seksualita, tari gambyong ini hampir sama dengan goyang ngebor.
Simbol luruhnya otoritarianisme budaya
Secara umum tari Gambyong ini merupakan simbol sirnanya hirarkhi budaya. Dengan ini kita tahu bahwa yang namanya estetika ternyata tidak bisa dikotak-kotak, dikapling-kapling apalagi dibag-bagi dalam tingkatan struktur kekuasaan. Spirit estetika itu boleh saja lahir di wilayah feriveral, namun ia akan melambung dan menerobos wilayah sentral. Dengan demikian otoritarianisme budaya itu sebenarnya sesuatu yang ahistoris. Kalaupun diakui ada, itu hanyalah bentuk formalisme atau institusionalismenya. Sementara budaya sendiri yang lebih mendasarkan diri pada estetika, etika dan logika tidak akan pernah bisa dipagari secara ketat.
Dalam ruh estetika ini akhirnya menjadi tidak jelas mana batas-batas budayanya wong cilik dan mana budayanya orang ningrat, mana tradisi keraton mana tradisi pinggiran, mana khasanah raja mana khasanah rakyat dan seterusnya. Toh ternyata perasaan para bangsawan juga tidak bisa dibohongi kalau merek juga tertarik dengan tradisi masyarakat pinggiran. Para raja-raja dan kaum bangsawan yang dalam konteks stratifikasi sosial lebih mendaulatkan diri sebagai atasan yang lebih tinggi dari masyarakat awam, akhirnya juga tunduk di bawah keluwesan gerak dan sentuhan erotica, seksualita maupun sensualita Gambyong. Ini artinya substansi budaya dalam ranah logis, estetis dan etis adalah bersifat universal, dialogis dan saling mempengaruhi. Sungguh nonsense sebuah budaya atau peradaban, seratus persen, bisa berdiri secara netral dan otonom. Maka kalau ada segolongan masyarakat elit atau golongan lain yang masih kukuh dan konserfativ memegang teguh budaya feodalisme aristokratismenya maupun lokalismenya secara membabi buta, sehingga mudah membuat jurang narsisme siapa gue dan siapa elo, itu cermin masyarakat yang tak beradab dan tak berbudaya.
0 comments:
Posting Komentar